“Kami berdiri dalam antrian yang
panjang, perempuan dan anak-anak,
Dibawah teriknya terik matahari
tropis.
Berjam-jam lamanya…
Dan orang Jepang terus saja
menghitung.
Menghitung dalam bahasa Jepang
sangatlah sulit.
Itu berlangsung lama, berjam-jam
lamanya…
Hitung, hitung, hitung
Hitung berjam-jam lamanya
Beribu tahun
Dibawah teriknya sinar matahari
Dengan perut kosong
(Appèl, puisi karya Freddi
Cochius )
Saya membaca puisi tersebut di
atas kereta menuju perjalanan pulang ke Jakarta. Pikiran saya masih saja
tertuju pada Monumen Jogenskampen di Ereveld Kalibanteng yang Jumat kemarin
saya kunjungi bertepatan dengan hari Jumat Agung. Sepertinya puisi tersebut
dengan visualisasi yang digambarkan oleh pematung Anton Beysens, membuat
pikiran saya melayang membayangkan situasi pendudukan Jepang di Hidia Belanda pada masa itu.
Monumen Jogenskampen,
mengambarkan seorang anak laki-laki
kurus, terlihat dari tulang-tulang rusuknya yang menonjol karena kurang makan yang sedang memanggul
pacul di bahunya, ditopang sebuah kapak dengan hanya mengenakan kain di
pinggangnya. Monumen ini didirikan untuk mengingat anak-anak muda yang wafat
pada masa penindasan Jepang di Hindia Belanda. Anak-anak muda yang dipisahkan
dari ibunya dan ditawan di tempat pengasingan anak maupun pria dewasa.
Dibawah kaki patung tembaga yang
diresmikan pada tahun 1988 tersebut tertulis dalam bahasa Belanda yang berarti
“Saat itu mereka masih sangat muda”. Saya tidak dapat membayangkan jika saya menjadi
salah satu anak muda kala itu. Dengan segala hormat untuk mengenang mereka yang telah gugur, anak-anak, kaum muda,
laki-laki dan perempuan semoga mereka yang telah wafat ditempatkan di tempat
yang terbaik di sisi-Nya.
**Semua foto yang saya buat di Ereveld Kalibanteng dan Ereveld Candi bukan untuk kepentingan dan tujuan komersial**